Hal itu diungkapkan Danny-sapaan akrabnya, usai mengikuti rapat tim kajian keberatan atas lokasi rencana pembangunan jalur kereta api Makassar-Parepare segmen E di Kantor Gubernur Sulsel, Selasa (21/6/2022).
Kata dia, sebelumnya hanya ada empat lahan yang tersandung pembebasan lahan. Namun belakangan, jumlah itu bertambah menjadi lima lantaran fasilitas umum (fasum) milik Pemkot di Kampus 2 Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) juga terdampak.
“Tadinya ada empat yang tersandung pembebasan lahan, sekarang jadi lima. Karena sebelumnya Pemkot dianggap tidak keberatan atas fasum yang terdampak, tapi saya bilang kalau saya keberatan,” tegas Danny.
Dia menyayangkan pihaknya tak dilibatkan dalam pembicaraan tentang lahan itu. Padahal menurutnya, hal itu menyangkut aset daerah sehingga perlu dibicarakan lebih lanjut.
“Lahan di PIP itu kan sudah punya pemerintah kota. Harusnya kami dipanggil juga untuk bicara. Masa kami punya tanah tapi tidak dipanggil bicara, malah langsung diblok-blok. Ini kan akan jadi komersil. Harus jelas apakah itu penyertaan aset atau apa. Ini masalah negara, ada aturan hukumnya,” urai Danny.
Selain itu, dirinya juga menyesalkan rencana pembangunan stasiun di Kawasan Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea. Kata dia, tak ada alasan yang jelas mengapa stasiun kereta api ditempatkan di sana.
“Kenapa ditetapkan stasiun di sana. Apa alasannya? Tidak ada alasannya. Stasiunnya ditetapkan di Lantebung, bagaimana kira-kira kalau begitu? Ke terminal saja dengan besarnya jalan itu tidak ada yang mau ke terminal apalagi mau ke Lantebung,” bebernya.
Kepala Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan Sulsel, Iqbal Suhaeb, berujar bukan hanya pemerintah kota, namun empat pemilik lahan lainnya turut menyampaikan keberatan. Mereka tak terima lahannya langsung dipatok tanpa komunikasi dari Balai Pengelola Kereta Api (BPKA) Sulawesi Selatan.
“Mereka keberatan sama BPKA. Selama ini tidak ada komunikasi, tidak ada koordinasi. Padahal lahannya sudah dipatok,” ungkapnya.
Khusus untuk fasum Pemkot, lanjut Iqbal, menurutnya hal itu disebabkan adanya miskomunikasi. Berdasarkan penyampaian Wali Kota Makassar, lahan itu sudah menjadi milik Pemkot usai mereka menyepakati Ruislag atau tukar barang dengan pihak PIP.
“Ada pendataan yang belum jelas oleh pihak Balai Kereta Api. Lahan yang didata menurut BPKA tidak ada tertulis PIP, padahal menurut wali kota itu adalah bagian dari tanah pengganti lahan yang diberikan oleh wali kota,” ucapnya.
“Sehingga akhirnya tadi belum diputuskan. Masih akan kita bicarakan dengan pihak kementerian dari tim kajian. Meminta bertemu Kementerian Perhubungan atau Dirjen Kereta Api untuk selanjutnya tim kajian yang memutuskan,” imbuh mantan Pj Wali Kota Makassar ini.
Kendati begitu, Iqbal justru menyebut bahwa belum ada perubahan sistem jalur rel yang akan digunakan. Sampai saat ini perencanaan masih belum berubah, alias masih tetap menggunakan sistem at grade atau di bawah.
“Untuk sementara perencanaannya Balai masih belum berubah, masih perencanaan lama. Belum memasukkan usulan dari wali kota untum elevated. Untuk itu di pertemuan nanti memang yang bisa memutuskan adalah pihak Kementerian,” tandasnya.